MEMBEDAH PERMASALAHAN AGRARIA DAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA: ANTARA FAKTA DAN OPINI

Pendahuluan:

Permasalahan agraria di Indonesia merupakan isu kompleks yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Salah satu isu yang sering menjadi sorotan publik adalah dugaan perampasan tanah oleh perusahaan kelapa sawit. Narasi ini sering mengemuka dalam pemberitaan media dan diskursus publik. Namun, perlu ditelaah lebih dalam apakah tuduhan tersebut sepenuhnya benar atau merupakan dampak dari ketidakteraturan sistem agraria dan kesenjangan informasi di masyarakat. Artikel ini mengulas permasalahan tersebut berdasarkan empat hipotesis utama, serta menyajikan data dan analisis untuk memberikan perspektif yang lebih seimbang. apmi

Transmigrasi Orde Baru: Lahan 2 Hektare tanpa Kepastian Hak Milik:

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah meluncurkan program transmigrasi besar-besaran guna mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan meningkatkan pembangunan di luar Jawa. Setiap keluarga transmigran dijanjikan lahan seluas kurang lebih 2 hektare untuk dikelola menjadi lahan pertanian. Namun, banyak transmigran yang hingga kini tidak memiliki Surat Hak Milik (SHM) atas lahan tersebut. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menunjukkan bahwa dari sekitar 4,5 juta hektare lahan transmigrasi yang dibuka antara tahun 1969–1999, lebih dari 40% belum memiliki sertifikat kepemilikan hingga 2022. Kekosongan legalitas ini menyebabkan banyak lahan transmigrasi tidak terdata secara resmi, sehingga dianggap sebagai tanah kosong oleh pemerintah dan dapat dialokasikan ke perusahaan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU). apmi

Baca juga:

Beasiswa Sawit Talk Tahap II Dihadiri 800 Peserta, Ketua Umum APKASINDO Apresiasi Komitmen APMI Dampingi Calon Penerima Beasiswa Sawit 2025

Konflik SHM vs. HGU: Ketimpangan Data dan Kepastian Hukum:

Ketika lahan yang telah dikelola oleh masyarakat selama puluhan tahun tidak tercatat secara legal, maka konflik agraria menjadi tak terhindarkan. Perusahaan sawit yang memperoleh izin HGU secara sah menurut hukum sering kali masuk ke lahan yang telah digunakan masyarakat secara turun-temurun. Contohnya, laporan Human Rights Watch (2019) mencatat konflik di Kalimantan Barat, seperti di Desa Seruat Dua dan Olak Olak, di mana masyarakat kehilangan akses lahan akibat konsesi yang diberikan kepada PT Sintang Raya. Dalam kasus ini, perusahaan memiliki HGU seluas 11.129 hektare yang diakui negara, sementara warga transmigran tidak memiliki dokumen legal. Akibatnya, sengketa berlarut-larut karena pemerintah belum memiliki basis data pertanahan yang komprehensif. apmi

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2022 tercatat 212 konflik agraria, dengan 60% di antaranya terkait perkebunan kelapa sawit. Ketiadaan data tanah masyarakat dalam sistem pertanahan nasional (ATR/BPN) sering kali menyebabkan tanah tersebut dianggap tidak bertuan, sehingga dialokasikan kepada perusahaan melalui Bank Tanah atau konsesi investasi. apmi

Baca juga:

Beasiswa Sawit Talk Tahap 1 Dibuka oleh Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma: APMI Dapat Apresiasi atas Upaya Pendampingan Calon Penerima Beasiswa Sawit 2025

Opini Publik dan Sentimen Negatif terhadap Industri Sawit:

Opini publik di dalam dan luar negeri sering kali menggambarkan industri sawit sebagai penyebab utama deforestasi dan kerusakan lingkungan. Meskipun beberapa kasus memang menunjukkan praktik buruk, banyak perusahaan sawit yang sebenarnya mengembangkan lahannya di area yang sebelumnya telah terdegradasi atau tidak produktif. Misalnya, laporan World Resources Institute (WRI) tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 10 juta hektare lahan kritis di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk ekspansi kelapa sawit tanpa menambah tekanan terhadap hutan primer. apmi

Namun demikian, narasi yang dominan sering kali mengabaikan fakta ini dan menggiring opini publik untuk menggeneralisasi seluruh industri sawit sebagai aktor destruktif. Analisis dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga menunjukkan bahwa sawit menyumbang lebih dari USD 20 miliar dalam ekspor tahun 2021, dan melibatkan lebih dari 16 juta tenaga kerja, termasuk 4,2 juta petani kecil.

Kelapa Sawit dan Pengelolaan Lahan Kritis: Solusi Berkelanjutan?

Berbagai studi menunjukkan bahwa ekspansi kebun kelapa sawit tidak selalu identik dengan deforestasi. World Resources Institute (WRI) dan Sekala menyatakan bahwa pengembangan sawit di lahan kritis atau degradasi dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan. Program land swap yang dilakukan di Kalimantan adalah salah satu contoh keberhasilan pengalihan rencana konsesi dari hutan primer ke lahan yang telah rusak. apmi

Data dari jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 2020 menunjukkan bahwa sekitar 31% dari lahan yang sebelumnya mengalami deforestasi kini tidak termanfaatkan dan dapat dikembangkan untuk perkebunan tanpa menambah tekanan terhadap hutan alam. Implementasi praktik seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga menjadi langkah penting dalam membangun industri sawit yang lebih bertanggung jawab. apmi

Baca juga:

Minyak Kelapa Sawit dan Perang Dagang Global: Isu Lingkungan atau Strategi Persaingan

Kesimpulan:

Dugaan perampasan tanah oleh perusahaan sawit tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan. Permasalahan ini lebih tepat dipahami sebagai akibat dari ketimpangan data agraria, ketidakjelasan legalitas lahan transmigrasi, serta pengaruh opini publik yang belum tentu berbasis data. Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah konkret, seperti percepatan legalisasi lahan transmigran, transparansi data HGU, penguatan sistem mediasi konflik agraria, dan edukasi publik tentang praktik sawit berkelanjutan. apmi

Dengan pendekatan yang lebih objektif dan data-driven, permasalahan agraria di Indonesia dapat diselesaikan secara adil dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan potensi ekonomi dari industri sawit yang telah terbukti menjadi sumber devisa utama dan penyerap tenaga kerja nasional.

 

Penulis:
Mulyadi
Kepala Departemen Kajian dan Advokasi

Pustaka:
1. Human Rights Watch, “When We Lost the Forest, We Lost Everything”, 2019.
2. World Resources Institute, “Reducing Emissions through Better Land Use”, 2020.
3. PNAS, “Palm oil expansion in Indonesia and its environmental impacts”, 2020.
4. Sekala Indonesia, “Land Swap Pilot Project in Kalimantan”, 2021.
5. Kementerian ATR/BPN, Data Pertanahan Nasional, 2022.
6. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Laporan Konflik Agraria 2022.
7. BPDPKS, Statistik Industri Sawit Indonesia, 2021.

Tags

Berita Terkini

Presented By

Hubungi Kami

Sekretariat BPP APMI:
Jl. Garuda No.10, Malangrejo, Wedomartani, Kec. Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kode Pos: 55584
Telepon : +62 822 - 2132 - 1502
E-Mail : plantersmuda.id@gmail.com

Asosiasi Planters Muda Indonesia

Made By Departemen IT Developer - APMI