Yogyakarta (16/03/2025) – Rencana peresmian perdagangan karbon di sektor kehutanan menandai langkah awal implementasi ekonomi hijau di Indonesia. Namun, sektor pertanian termasuk perkebunan, masih belum mendapatkan kepastian dalam mekanisme ini. Ketua Umum Asosiasi Planters Muda Indonesia (APMI), Muhammad Nur Fadillah menegaskan bahwa kebijakan ini harus segera diperluas agar sektor pertanian tidak tertinggal.
“Sektor perkebunan memiliki kontribusi besar dalam penyerapan karbon dan pengurangan emisi. Jika perdagangan karbon hanya difokuskan pada kehutanan, maka peluang besar dari sektor pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit, akan terabaikan,” ujar Fadil dalam pernyataan resminya.
Dengan luas lebih dari 16 juta hektare, perkebunan sawit memiliki potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim. Riset menunjukkan bahwa satu hektare kelapa sawit mampu menyerap 40–70 ton CO₂ per tahun, menjadikannya salah satu tanaman dengan tingkat serapan karbon tertinggi.
Selain itu, limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) dapat dikelola untuk menghasilkan energi bersih. Jika dimanfaatkan dengan teknologi biogas, pengolahan POME dapat mengurangi emisi sebesar 22,6 – 44,4 juta ton CO₂e per tahun, dengan nilai ekonomi yang berpotensi mencapai antara Rp678 miliar hingga Rp11,99 triliun per tahun, tergantung pada harga karbon domestik yang berkisar Rp30.000–Rp270.000 per ton CO₂.
Baca Juga:
Menyongsong Masa Depan Perkebunan Sawit: Tantangan dan Peran APMI dalam Menciptakan Solusi
Fadil menekankan bahwa perdagangan karbon tidak boleh hanya dinikmati oleh sektor kehutanan. Sektor pertanian, terutama perkebunan sawit rakyat, harus diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam skema ini.
“Jangan sampai hanya korporasi besar yang bisa mengakses pasar karbon. Petani sawit rakyat juga harus dilibatkan melalui skema insentif dan regulasi yang berpihak kepada mereka,” tegasnya.
Selain itu, APMI melihat perlunya penerapan teknologi dalam pengelolaan karbon di perkebunan sawit. Teknologi seperti drone untuk pemetaan karbon, AI untuk pemantauan emisi, serta penggunaan pupuk organik berbasis limbah sawit dapat menjadi langkah konkret dalam meningkatkan efektivitas skema ini.
“Sebagai organisasi yang mendorong regenerasi planters muda, APMI siap menjadi jembatan antara pemerintah, perusahaan, dan petani dalam sosialisasi serta implementasi perdagangan karbon di sektor perkebunan. Kami ingin memastikan bahwa sawit tidak hanya berpartisipasi dalam skema ini, tetapi juga menjadi pemain utama dalam perdagangan karbon global,” tutup Fadil.
APMI akan terus memantau perkembangan kebijakan ini dan siap memberikan rekomendasi agar perdagangan karbon dapat menjadi langkah nyata menuju sawit yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing global.
Sumber:
Pabrik CPO di tengah perkebunan kelapa sawit (ilustrasi). Foto: goodnewsfromindonesia.id